Sunday, January 10, 2010

Dialog Seorang Teman

Kawan, masih ingatkah engkau di saat kita dalam usia kepolosan, kita bernyanyi, menari dipinggir sawah.
Nyanyian kita adalah ucapan hati, tariannya keriangan

Kawan, masihkah engkau dekap kepolosan dimana kita buta akan intrik, muslihat dan hasut. Masihkah kita dapat bermain seperti dahulu ketika ikan kecil-kecil di sawah berlarian dari tangan-tangan mungil. Atau disaat kita mengendap-endap menangkap anak katak.
Kawan, saat kita dewasa dan mengenal wajah dunia, keriangan perlahan membeku. Bukan anak katak, ikan, dan rumput pematang sawah yang kita cengkrama, tapi para pengecut, penjilat, penghasut yang berwajah tampan. Bukan ini yang paling menggelisahkanku, namun mereka memaksaku untuk menjadi serupa. Dunia kini murung dan sinis.
Kawan, kita orang kecil yang tidak memiliki kekuatan akses dan perak. Kita kerdil dalam belantara kapital dan politik. Aku tahu kita harus melabrak aturan curang, menebar senyum menggetarkan hati si culas.
Kawan, bersama menguatkan 'aku'. Engkau pernah bilang "jangan remehkan 'aku', ia partikel halus yang jika sadar dapat memancarkan kekuatan tak berbanding, menyapu dan menundukkan gunung-gemunung".
Bila jiwa menjadi nakhoda, jangan risau dengan segala kondisi.
Nyanyian polosmu memaksa jantungku berdenyut kencang menatap kemungkinan.

O, fajar di ufuk timur, pendarkan cahayamu di segenap sudut negeri.
Jangan bimbang dengan pekat awan
Tidaklah lebih bahaya dari kau yang lupa dirimu.


2009

0 comments:

Post a Comment

  © Sponsored by khazanah1

Kembali ke ATAS