Tuesday, July 7, 2009

Menghidupkan Tradisi Halaqoh di Mesjid
Oleh: Aidil Susandi


Tidak dapat dipungkiri bahwa mesjid memiliki peran besar dalam aktifitas keilmuan. Sejarah memaparkan bagaimana Mesjid menjadi wadah utama dalam penyeberan ilmu pengetahuan ditengah-tengah masyarakat. Hal ini dapat kita telusuri dari sejarah

islam yang menceritakan bagaimana peran andil sebuah sistem halaqoh sebagai sarana transformasi ilmu. Para ulama-ulama salaf yang telah berjasa besar mengembangkan keilmuan islam dan mewariskannya kepada kita, dibesarkan melalui sistem pendidikan seperti ini.

Meskipun pada perkembangannya, sistem pendidikan klasik ini beralih kedalam institusi-istitusi resmi seperti madrasah ataupun universitas, namun sampai sekarang setidaknya halaqoh masih tetap relevan dan cukup eksis. Sebut saja misalnya Mesjid al azhar Kairo, yang terus menyeleggarakan halaqoh ilmiah hampir setiap harinya yang diajarkan langsung oleh para ulama bidangnya. Tentu masih banyak mesjid-mesjid lainnya yang berbuat serupa.

Diantara ketertarikan sistem ini, ia dapat dinikmati oleh setiap orang tanpa memandang umur dan jenjang pendindikan. Dan setiap orang bebas memilih halaqoh sesuai subjek ilmu yang ingin dipelajari. Sekurang-kurangnya halaqoh dapat memenuhi kebutuhan masyarakat untuk menyerap ilmu yang tidak didapatinya dibangku sekolah, atau yang tidak berkesempatan mengenyam pendidikan formal. Terlebih bagi sebuah negeri yang mayoritas muslim, dimana bangku sekolah terasa kurang memadai memberikan pelajaran-pelajaran keislaman. Kehadiran majlis ilmu ini memberikan nilai positif bagi masyarakat tanpa beban biaya yang memberatkan.

Dalam sejarah pendidikan Indonesia, sistem halaqoh juga turut mewarnai perjalan intelektual bangsa. Itu dapat dilihat dari peran surau, langgar atau meunuhasah dalam menumbuh kembangankan keilmuan ditengah masyarakat. Mesjid dan aktifitas keilmuan menjadi ciri khas dalam komunitas masyarakat muslim. Dan seyogianya, kita harus tetap menjaga tradisi ini. Alangkah indahnya bila mesjid-mesjid yang kita miliki dimeriahkan tidak sekadar untuk sholat atau perayaan-perayaan keislaman semata, namun juga diwarnai kegiatan keilmuan. Pada gilirannya, mesjid menjadi ruang pendidikan terbuka bagi setiap lapisan masyarakat baik tua, muda, miskin ataupun kaya, karena tidak semua dari kita bisa masuk pesantren, madrasah ataupun universitas. Apalagi dalam kondisi dimana anggaran pencerdasan bangsa sangat-sangat tidak sebanding dengan populasi penduduk Indonesia yang lebih dari dua ratus juta jiwa itu. Lantas mau dikemanakan hak mereka untuk mendapatkan pendidikan yang merupakan kebutuhan pokok asasi bagi setiap individu.

Kalau diperhatikan, tak jarang mesjid-mesjid yang kita temui, secara infrastrukural sangat memadai bahkan terbilang ‘wah’ belum lagi ditambah dengan kas mesjid yang memadai lebih dari cukup, namun kita sedikit terenyuh menyaksikan fenomena keilmuan di mesjid-mesjid. Kalaupun ada hanya bersifat tahunan atau bulanan.

Bedirinya mesjid-mesjid disetiap daerah dan tempat merupakan anugerah dan peluang besar menjadikannya sebagai menara pemancar keilmuan ditengah-tengah masyarakat, sejatinya mesjid dapat menjadi simbol keilmuan. Kita tidak berharap mesjid yang kita miliki hanya sekedar bangunan indah, lengkap dengan interior yang memukau dan bahkan ada yang kubahnya dilapisi emas, tapi sebaliknya hal ini tidak sepadan dengan kegiatan ilmiah yang ada. Seharusnya akitifitas keilmuan mendapatkan perhatian serius dan tidak ada salahnya menyisihkan sedikit anggaran mesjid untuk pelaksanaan kegiatan tersebut.

Sebagai bangsa berpenduduk Muslim terbesar di dunia, membangun tradisi ilmu harus benar-benar menjadi agenda utama untuk membangun bangsa yang maju dan diperhitungan. Jika acara hiburan atau intertaiment saja mendapatkan penghargaan sedemikian meriah dan gegap-gempita, betapa ironisnya kegiatan-kegiatan bersifat keilmuan sepi dari perhatian. Bila demikian adanya, bagaimana kita bisa mencapai masyarakat ilmu (knowledge society) yang merupakan aktor utama kebangkitan sebuah negara.

Bangsa kita cukup potensi. Kita punya kiai, ulama, dan asatiz, juga organisasi-organisasi islam yang banyak jumlahnya, yang memiliki kapasitas intelektual dalam menggerakkan aktifitas keilmuan di mesjid-mesjid. Pengkordiniran dapat dilakukan siapa saja, entah itu MUI, ormas-ormas besar islam, ataupun organisasi-organisasi mesjid setempat. Sangat disayangkan bila potensi ini kita diamkan begitu saja tanpa ada tindakan yang berarti untuk menghidupkan tradisi halaqoh di mesjid.

Untuk mencapai itu, kiranya, ada dua hal yang dapat kita lakukan: Pertama, pengkordiniran mesjid. Upaya ini dilakukan untuk memetakan garapan pelaksanaan halaqoh ilmiah dalam suatu tempat. Barangkali tidak semua mesjid atau mushalla terbilang strategis untuk majlis keilmuan, baik dilihat dari segi bangunan atau letak geografis yang mudah dijangkau oleh masyarakat banyak. Tentunya ini tidak dimaksudkan untuk membeda-bedakan satu mesjid dengan mesjid lainnya, namun lebih sebagai efisiensi kegiatan dan pasokan tenaga pengajar.

Kedua, pengkordiniran tim pengajar. Para ustadz, ulama, ataupun kiai yang tersebar akan lebih sangat berdaya guna bila dilakukan pengkoordiran secara rapi dan sistemis untuk mengelola halaqoh-halaqoh. Hal ini juga memungkinkan terjadinya pemerataan pengajar disetiap daerah mesjid yang menjadi tempat diselenggarakannya majlis ilmu tersebut. Disamping meniscayakan penyeragaman materi yang akan disampaikan pada masing-masing halaqoh mesjid.

Bila hal diatas dapat terealisasi dengan baik, maka peran mesjid sebagai tempat menumbuh kembangkan tradisi ilmu ditengah-tengah masyarakat akan menemukan jalan mulusnya. Maka itu, peran andil setiap lapisan masyarakat, terutama kaum intelektualnya sangat dibutuhkan. Dan cahaya keilmuan pun akan semakin terlihat di Indonesia.

0 comments:

Post a Comment

  © Sponsored by khazanah1

Kembali ke ATAS