Nadi Bangsaku
Ketakutan mulai menghampiri
Padam sudah api dalam sekam
Aku diam, beku, pekat, lunglai
O mentari pagi, usir monster malam itu dari pandangan
Nyalakan apiku
Dunia sepenuhnya milik pribadi-pribadi besar, bukan milik orang kaya, bangsawan, politikus tapi kepunyaan si pembawa obor.
Di dadanya memancar seribu sungai
Nil, Eufrat, Tigris, Musi mengalir di jemarinya
Suluhnya selalu terang
Gairah membakar dadanya
Tembok Cina tunduk dalam pancaran kemilau
Hai pemilik catatan hikmah,
jangan tukar kertasmu dengan sehelai sutra
Buku kusammu lebih bernilai dibanding singgasana Romawi
Dialah bencana itu
Hatinya diliputi kekalahan
Bicaranya manis bak madu lebah hutan
Pembangunan, kerakyatan, kemandirian, toleransi, persamaan, serta isme-isme menghiasi bibir rancunnya.
Aku gak ngerti apa yang mereka katakan
Semuanya terasa asing bagiku
Kecerdasannya tak di-imbangi kejujuran intelektual
Samar kudengar detak jantungku
Suara kekalahan, apatis, ketamakan memudarkan degup nadi
Bukit barisan tersimpuh di bawah patung liberti bak onggoan abu dapur
Hai Indonesia negeri madu, berhatilah pada Abdullah bin Ubay bin Salul
Parasnya memancarkan persahabatan, tapi hatinya ular
Dialah yang menjual bangsa demi perut dan pakaian
Dia bukan orang asing, bagian keluarga ini
2009
Sunday, January 10, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment