Sunday, January 10, 2010

Nadi Bangsaku

Ketakutan mulai menghampiri
Padam sudah api dalam sekam
Aku diam, beku, pekat, lunglai
O mentari pagi, usir monster malam itu dari pandangan
Nyalakan apiku

Dunia sepenuhnya milik pribadi-pribadi besar, bukan milik orang kaya, bangsawan, politikus tapi kepunyaan si pembawa obor.
Di dadanya memancar seribu sungai
Nil, Eufrat, Tigris, Musi mengalir di jemarinya
Suluhnya selalu terang
Gairah membakar dadanya
Tembok Cina tunduk dalam pancaran kemilau

Hai pemilik catatan hikmah,
jangan tukar kertasmu dengan sehelai sutra
Buku kusammu lebih bernilai dibanding singgasana Romawi

Dialah bencana itu
Hatinya diliputi kekalahan
Bicaranya manis bak madu lebah hutan
Pembangunan, kerakyatan, kemandirian, toleransi, persamaan, serta isme-isme menghiasi bibir rancunnya.
Aku gak ngerti apa yang mereka katakan
Semuanya terasa asing bagiku
Kecerdasannya tak di-imbangi kejujuran intelektual

Samar kudengar detak jantungku
Suara kekalahan, apatis, ketamakan memudarkan degup nadi
Bukit barisan tersimpuh di bawah patung liberti bak onggoan abu dapur
Hai Indonesia negeri madu, berhatilah pada Abdullah bin Ubay bin Salul
Parasnya memancarkan persahabatan, tapi hatinya ular
Dialah yang menjual bangsa demi perut dan pakaian
Dia bukan orang asing, bagian keluarga ini

2009

0 comments:

Post a Comment

  © Sponsored by khazanah1

Kembali ke ATAS